Thursday, January 9, 2014

Empat Macam Hati Manusia


Para shahabat Radhiallahu’anhum telah membagi hati-hati manusia menjadi empat macam. Sebagaimana hal ini shahih dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu’anhu secara mauquf.
“Hati-hati manusia ada empat macam:

Pertama: Qalbun Ajrad (Hati yang murni), padanya ada lentera yang bersinar, itulah hati seorang Mukmin.

Kedua: Qalbun Aghlaf (hati yang tertutup) itulah hatinya orang kafir.

Ketiga: Qalbun Mankus (hati yang terbalik) itulah hatinya orang munafik. Dia mengetahui kemudian setelah itu mengingkari, sebelumnya dia melihat kebenaran kemudian kembali buta.

Keempat: Qalbun Tamaduhu Maadatan (hati yang memiliki dua unsur) yaitu unsur keimanan dan kemunafikan, mana yang menang itulah yang mendominiasi atasnya.”

[Disalin dari kitab Ighatsatul Lahafan min Mashaidisy Syaithan, Karya Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah]


By: Fachreza

Cara Bergaul yang Baik


1.    Menghargai Orang Lain
Hargailah segala bentuk apapun dari orang lain, baik pendapat, sifat, keahlian, maupun kepribadiannya. Karena dengan kita menghargai orang lain maka, orang tersebut juga akan menghargai kita.

2.    Bercanda
Bercanda memang hal yang dibutuhkan dalam pergaulan untuk mengakrabkan diri satu sama lain. Dalam bercanda harus lihat situasi seseorang saat kita ingin bercanda. Jika orang tersebut sedang mengalami kesulitan, sepantasnya kita menghiburnya agar tersenyum dan tertawa.

3.    Menjadi Orang yang Dipercaya
Dipercaya oleh orang lain merupakan hal yang menyenangkan. Tapi kita juga harus ingat untuk tetap menjaga kepercayaan itu. Karena menjaga kepercayaan adalah hal yang sulit. Untuk itu berpikirlah apabila rahasia mereka adalah rahasia kita.

4.    Menjadi Seseorang yang Bisa Diandalkan
Untuk menjadi seseorang yang bisa diandalkan dalam pergaulan haruslah bisa menghargai orang lain, senang bercanda, dan menjadi orang yang dipercaya. Karena dengan kriteria tersebut secara langsung orang akan mengandalkan atau meminta pertolongan apabila dalam kesulitan. Dan hal tersebut dapat terlihat apabila kita bisa menjadi teman yang baik bagi orang lain atau teman kita sendiri.


3 kunci utama dalam bergaul dengan sesama muslim


1.    Ta’aruf (saling mengenal)

Ta’aruf atau saling mengenal merupakan kunci yang paling utama dalam bergaul. Dengan ta’aruf kita dapat mengenal sifat, kesukuan, kegemaran, karakter, dan semua ciri khas pada diri seseorang.

2.    Tafahum (memahami)

Tafahum atau saling mengenal merupakan kunci kedua yang harus diperhatikan. Karena dengan mengenal secara lebih dalam seseorang, maka kita akan mengetahui segal hal apa saj yang disukai atau yang tidak disukai. Dan hal tersebut dapat membantu kita untuk mengetahui bagaiman kita harus bersikap. Selain itu, dapat membantu kita untuk membedakan mana teman yang baik dan mana teman yang kurang baik.

3.    Ta’awun (saling menolong)

Ta’awun atau rasa saling menolong merupakan hal yang akan menumbuhkan rasa cinta antar sesama teman. Bahkan Islam sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa.


Sunday, January 5, 2014

Hukum Menjual dan Menyewakan Aset Wakaf

POLEMIK ASET WAKAF

Pendahuluan

Dewasa ini, permasalahan aset wakaf mulai marak diperbincangkan. Pasalnya, banyak masyarakat yang  bertanya perihal aset wakaf tersebut. Diantara pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat adalah tentang hukum menjualnya, dan menukarnya dengan benda yang lain atau menyewakannya untuk pengembangan wakaf itu sendiri.  Tulisan di bawah ini menjelaskan dua masalah di atas secara global.

Definisi wakaf

      Wakaf secara etimologi berarti menahan untuk berbuat. Sedangkan secara terminology, Mayoritas ulama mendefinisikan dengan menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue (penghasilan) barang tersebut dengan tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Alloh SWT.[1]

Hukum Menjual Aset Wakaf

          Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ 

فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ 

حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي 

الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ 

غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
  
“ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab radliallahu 'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut seraya  berkata: “ Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka Beliau berkata: “ Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah) nya.” Ibnu Umar radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar menshadaqahkannya ( hasilnya ), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan,  namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.”  (HR Bukhori)

           Berdasarkan hadist di atas,  para ulama berpendapat bahwa aset wakaf tidak boleh dijual atau ditarik kembali  oleh pemiliknya, bahkan sebagian kalangan menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama. Berkata Imam Qurthubi : “ Pendapat yang membolehkan penarikan kembali barang yang sudah diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi kesepakatan ulama, maka tidak boleh diikuti. “[2] 

Hanya saja dalam rinciannya ternyata para ulama berbeda pendapat :

     Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf : “ Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang membolehkan penjualan aset wakaf. “[3]

      Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’I[4] , dan riwayat dari Imam Ahmad.

Adapun dalil pendapat ini sebagai berikut :

Dalil Pertama
: Hadist Umar di atas yang menyebutkan : “ Wakaf tersebut tidak boleh dijual “ ,  kalimat ini bersifat umum, dan tidak ada pengecualian, sehingga tetap haram menjual benda wakaf dan ditukar dengan yang lain

Dalil Kedua : Jika dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan menimbulkan kerusakan dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf, dengan mudahnya menjual benda wakaf dan menukarnya dengan yang lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi, maka akan sulit mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya kerusakan tersebut.

Dalil ketiga : Hal ini seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika  Khalifah Harun Rasyid memintanya izin untuk membongkar Ka’bah dan dikembalikan kepada pondasi yang pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka Imam Malik melarangnya dan mengatakan : “ Jangan sampai Ka’bah engkau jadikan sebagai permainan para raja. “.  Padahal tujuan Khalifah Harun Rasyid adalah kebaikan.[5]

Tetapi dalam madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf jika terkena pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan dalam buku Hasyiat ad-Dasyuqi.[6]

      Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.[7]
            
Adapun dalilnya sebagai berikut :
Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid  yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid.[8] 
Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang menolaknya, hal  ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.

Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh Syariah Islam.

Berkata Ibnu Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak, dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai. “

Berkata Ibnu Uqail : “ Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa melanggengkannya secara khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka paling tidak kita menjaga maksud ( dari wakaf itu sendiri ), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan ( wakaf) itu sendiri  “[9]

Dalil Ketiga : Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang merubah nadzarnya kepada nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam hadist Jabir :

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه  أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي 

بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا

]رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ[

“ Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekkah: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah menaklukan kota Mekkah kepada baginda, aku akan sholat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang itu masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: "Kalau begitu, terserah engkau." (HR Ahmad dan Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim)

   Jika nadzar saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah dengan yang lebih baik.
Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat dipercaya. Wallahu A’lam

Menyewakan Benda Wakaf
   Adapun menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun  ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.
  Berkata Imam Nawawi : “ Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf ( nadhir ) dibolehkan untuk menyewakan wakaf “[10]
   Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat  tentang masa penyewaan benda wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :

Pendapat Pertama : Tidak boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama, seperti puluhan tahun lamanya[11] dan tidak boleh menyewakan barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah Mutakhirin.[12]

Alasannya dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama, keuntungannya sulit diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah tangan tanpa disadari oleh para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat bukti-buktinya
   
   Ibnu Hajar al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan yang hendak menyewakan benda wakaf selama limapuluh tahun dengan izin pemerintah, beliau menjawab : “ Tidak boleh pemerintah mengizinkannya ( untuk menyewakan benda wakaf ) dalam waktu yang panjang, karena susah menentukan harga sewa dalam jangka waktu tersebut. Begitu juga dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan rusak ( hilang ) jika disewakan dalam jangka waktu yang panjang. “[13]

Berkata Ibnu Nujaim al-Hanafi : “ Ketahuilah bahwa penyewaan wakaf tidak boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika seorang Nadhir menyewakan wakaf dengan harga di bawah harga standar, maka tidak sah penyewaannya, dan penyewa wajib membayar dengan harga standar. “[14]

   Sebagian pemerintah pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan penyewaan benda wakaf lebih dari tiga tahun dengan alasan yang disebutkan di atas.[15]

Pendapat Kedua : Boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama jika untuk kepentingan umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah terdahulu dan pendapat mayoritas ulama.  

   Berkata Ibnu Taimiyah : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka boleh untuk disewakan sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas waktunya menurut mayoritas ulama. “[16]

   Tapi kebolehan menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika diprediksi wakaf tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun hilang.  

   Berkata Bahuti  : “ Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau sejenisnya seperti tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun jangkanya panjang selama diprediksi barangnya masih utuh, maka sah penyewaannya. “[17]

Kesimpulan :

   Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri. Hendaknya pewakaf atau nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut. 

Wallahu A’lam. 


[1] Mughnil muhtaj : II/376, kasysyaaful qinaa` : IV/267, Ghayatul muntahaa : II/299
[2] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146
[3] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146
[4] Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab : 9/245
[5] Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, hlm : 4/ 54
[6] Dasuqi, Hasyiat ad- Dasuqi : 3/365
[7] Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, hlm : 4/ 54, Utsaimin, Syarh al Mumti’ : 4/470.
[8] Abdullah Bassam, Taudhuh al-Ahkam : 3/ 416
[9] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146
[10]Nawawi, Raudhotu at-Thalibin : 5/ 351, lihat juga Ibnu al Mardawai, al- Inshof : 6/ 28  
[11] Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa : 30/180
[12] Syekh Nidham, Fatawa Hindiyah : 2 / 422
[13] Ibnu Hajar al-Haitsami, Fatawa : 4/ 441
[14] Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Raiq : 7/ 99
[15] Zakariya Anshari, Asna al-Mathalib : 2/ 414
[16] Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa : 30/246
[17] Bahuti, ar-Raudh al-Murabi :  1/ 267

Korbankan “ismail”-mu!!!

Bismillahirrahmanirrahim

Secara fitrah, manusia dikaruniai oleh Allah I kecintaan pada ibu, bapak, anak dan istri. Dengan naluri itu, manusia akan terdorong untuk mencari pasangan dan melahirkan keturunan. Begitu pula Nabiyullah Ibrahim as. Beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak. Meski usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan anak yang shalih.

Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang telah sangat lama didambakan. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim as. Ismail pun merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah I kepada Ibrahim as untuk menyembelih putera kesayangannya itu.

Ibrahim as menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail atau menaati perintah Allah I dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya. Mengedepankan kecintaan yang tinggi, yakni kecintaan kepada Allah I atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak yang dicintainya itu sebagai karunia Allah I atau malah menjadikannya sebagai tandingan, pesaing–pesaing Allah I yang dicintai sama atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah I.

Sekarang, bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang dapat melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah I. Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu tidak mendengarkan perintah Allah I dan menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. Setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindar dari perintah Allah I.

Didalam hidup ini kita harus menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orang tua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu berupa kebiasaan yang mendatangkan kemurkaan Allah I, sehingga kita tidak bisa lepas dari hal-hal tersebut karena sudah menyatu dalam kehidupan nyata.

“Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri, buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu, setan dengan cepat memanfaatkan kesempatan, berusaha menggoda Nabi Ibrahim as, Siti Hajar, dan Ismail as agar mengabaikan perintah Allah I itu.

Lalu siapakah “Ismail” kita?. Mungkin, yang mengetahuinya adalah kita sendiri. Maka korbankan “Ismail”-mu!


“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Ali-Imran [3]: 31). 

[fachreza].