POLEMIK ASET WAKAF
Pendahuluan
Dewasa ini,
permasalahan aset wakaf mulai marak diperbincangkan. Pasalnya, banyak
masyarakat yang bertanya perihal aset
wakaf tersebut. Diantara pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat adalah
tentang hukum menjualnya, dan
menukarnya dengan benda yang lain atau menyewakannya untuk pengembangan wakaf
itu sendiri. Tulisan di bawah ini menjelaskan dua masalah di atas secara
global.
Definisi
wakaf
Wakaf secara
etimologi berarti menahan untuk berbuat. Sedangkan secara terminology, Mayoritas
ulama mendefinisikan dengan menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara
barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap
barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang
diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue (penghasilan) barang
tersebut dengan tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada
Alloh SWT.[1]
Hukum Menjual Aset Wakaf
Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :
عَنْ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا
بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ
فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ
أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ
شِئْتَ
حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ
أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي
الْفُقَرَاءِ وَفِي
الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا
بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ
غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
“ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab radliallahu
'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu
'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut
seraya berkata: “ Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar
dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka
apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka Beliau berkata: “ Jika
kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan
(hasil buah) nya.” Ibnu Umar radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar
menshadaqahkannya ( hasilnya ), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak
dihibahkan dan juga tidak diwariskan, namun dia menshadaqahkannya
untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil
dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan
darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan
bermaksud menimbunnya.” (HR Bukhori)
Berdasarkan hadist di atas, para ulama berpendapat bahwa aset wakaf tidak
boleh dijual atau ditarik kembali oleh pemiliknya, bahkan sebagian
kalangan menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama. Berkata Imam
Qurthubi : “ Pendapat yang membolehkan penarikan kembali barang yang sudah
diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi kesepakatan ulama, maka tidak boleh
diikuti. “[2]
Hanya saja dalam rinciannya ternyata para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari
hal ini, berkata Abu Yusuf : “ Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu
Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang
membolehkan penjualan aset wakaf. “[3]
Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti
dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf tersebut
tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’I[4] , dan riwayat dari Imam Ahmad.
Adapun dalil
pendapat ini sebagai berikut :
Dalil Kedua : Jika
dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan menimbulkan kerusakan
dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf, dengan mudahnya menjual benda wakaf
dan menukarnya dengan yang lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi,
maka akan sulit mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya
kerusakan tersebut.
Dalil ketiga : Hal ini
seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika Khalifah Harun Rasyid
memintanya izin untuk membongkar Ka’bah dan dikembalikan kepada pondasi yang
pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka Imam Malik melarangnya dan mengatakan : “
Jangan sampai Ka’bah engkau jadikan sebagai permainan para raja. “.
Padahal tujuan Khalifah Harun Rasyid adalah kebaikan.[5]
Tetapi dalam
madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf jika terkena
pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan dalam buku
Hasyiat ad-Dasyuqi.[6]
Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf
tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar masjid
tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut .
Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.[7]
Adapun dalilnya sebagai berikut :
Dalil Pertama : Atsar
Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah
telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk
memindahkan masjid yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di
depan masjid.[8]
Peristiwa
ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang
menolaknya, hal ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.
Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan
maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan
menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan
mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh
Syariah Islam.
Berkata Ibnu
Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan
yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak, dibolehkan menggantikannya dengan
yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai. “
Berkata Ibnu
Uqail : “ Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa melanggengkannya secara
khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka paling tidak kita menjaga maksud
( dari wakaf itu sendiri ), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang
lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf
yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan (
wakaf) itu sendiri “[9]
Dalil Ketiga :
Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang merubah nadzarnya kepada
nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam hadist Jabir :
وَعَنْ
جَابِرٍ رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ
اَلْفَتْحِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ
أَنْ أُصَلِّيَ فِي
بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا
]رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ[
“ Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu
bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekkah: Wahai
Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah menaklukan kota Mekkah kepada
baginda, aku akan sholat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah
disini." Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda: "Sholatlah
disini." Orang itu masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: "Kalau
begitu, terserah engkau." (HR Ahmad dan Abu Daud, dan
dishahihkan oleh Hakim)
Jika nadzar
saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah
dengan yang lebih baik.
Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai
dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk
menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan
menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau
lembaga sosial yang dapat dipercaya. Wallahu A’lam
Menyewakan Benda Wakaf
Adapun
menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun
ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.
Berkata Imam
Nawawi : “ Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf ( nadhir )
dibolehkan untuk menyewakan wakaf “[10]
Tetapi
walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang masa penyewaan benda
wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :
Pendapat Pertama : Tidak
boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama, seperti puluhan
tahun lamanya[11] dan
tidak boleh menyewakan barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah
pendapat Ulama Hanafiyah Mutakhirin.[12]
Alasannya
dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama, keuntungannya sulit
diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah tangan tanpa disadari oleh
para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat bukti-buktinya
Ibnu Hajar
al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan yang hendak
menyewakan benda wakaf selama limapuluh tahun dengan izin pemerintah, beliau
menjawab : “ Tidak boleh pemerintah mengizinkannya ( untuk menyewakan benda
wakaf ) dalam waktu yang panjang, karena susah menentukan harga sewa dalam
jangka waktu tersebut. Begitu juga dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan
rusak ( hilang ) jika disewakan dalam jangka waktu yang panjang. “[13]
Berkata Ibnu Nujaim al-Hanafi : “ Ketahuilah bahwa
penyewaan wakaf tidak boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika
seorang Nadhir menyewakan wakaf dengan harga di
bawah harga standar, maka tidak sah penyewaannya, dan penyewa wajib membayar
dengan harga standar. “[14]
Sebagian pemerintah
pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan penyewaan benda wakaf lebih
dari tiga tahun dengan alasan yang disebutkan di atas.[15]
Pendapat Kedua : Boleh
menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama jika untuk kepentingan
umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah terdahulu dan pendapat mayoritas
ulama.
Berkata Ibnu
Taimiyah : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka boleh untuk disewakan
sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas waktunya menurut mayoritas
ulama. “[16]
Tapi kebolehan
menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika diprediksi wakaf
tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun hilang.
Berkata
Bahuti : “ Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau sejenisnya seperti
tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun jangkanya panjang selama
diprediksi barangnya masih utuh, maka sah penyewaannya. “[17]
Kesimpulan :
Dari
penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan
menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih
besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan
wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri. Hendaknya pewakaf atau
nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan
menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa
diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut.
Wallahu
A’lam.
[1] Mughnil muhtaj : II/376, kasysyaaful qinaa` :
IV/267, Ghayatul muntahaa : II/299
[2] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam
: 2/ 146
[3] Abdullah
Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146
[4] Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab :
9/245
[5] Utsaimin,
Syarh Bulughul Maram, hlm : 4/ 54
[6] Dasuqi, Hasyiat
ad- Dasuqi : 3/365
[7] Utsaimin, Syarh
Bulughul Maram, hlm : 4/ 54, Utsaimin, Syarh al Mumti’ : 4/470.
[8] Abdullah Bassam, Taudhuh al-Ahkam
: 3/ 416
[9] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam
: 2/ 146
[10]Nawawi, Raudhotu
at-Thalibin : 5/ 351, lihat juga Ibnu al Mardawai, al- Inshof : 6/
28
[11] Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa : 30/180
[12] Syekh Nidham, Fatawa Hindiyah
: 2 / 422
[13] Ibnu Hajar al-Haitsami, Fatawa
: 4/ 441
[14] Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Raiq
: 7/ 99
[15] Zakariya
Anshari, Asna al-Mathalib : 2/ 414
[16] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa
: 30/246
[17] Bahuti, ar-Raudh al-Murabi
: 1/ 267
0 comments:
Post a Comment