Bismillahirrahmanirrahim
Secara fitrah,
manusia dikaruniai oleh Allah I kecintaan pada ibu, bapak, anak dan istri. Dengan
naluri itu, manusia akan terdorong untuk mencari pasangan dan melahirkan
keturunan. Begitu pula Nabiyullah Ibrahim as. Beliau juga menginginkan
kehadiran seorang anak. Meski usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa
memohon diberikan anak yang shalih.
Bagi Ibrahim as,
Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang telah sangat lama
didambakan. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam hidup Ibrahim as. Ismail pun
merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa
bahagia itu, turunlah perintah Allah I kepada Ibrahim as untuk menyembelih
putera kesayangannya itu.
Ibrahim as
menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan”
Ismail atau menaati perintah Allah I dengan ”mengorbankan” putra
kesayangannya. Mengedepankan kecintaan yang tinggi, yakni kecintaan kepada Allah
I atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah,
yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Tetap menyadari anak yang
dicintainya itu sebagai karunia Allah I atau malah menjadikannya sebagai
tandingan, pesaing–pesaing Allah I yang dicintai sama atau bahkan melebihi kecintaan
kepada Allah I.
Sekarang,
bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela mengorbankan apa
saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap sesuatu yang dapat
melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju taat kepada Allah I. Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu
tidak mendengarkan perintah Allah I dan menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah
setiap sesuatu yang menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu.
Setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk
menghindar dari perintah Allah I.
Didalam hidup ini
kita harus menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita itu. Mungkin sekali
“Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak, istri, suami, orang tua atau
siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat, jabatan atau kedudukan. Bisa juga
“Ismail”-mu berupa kebiasaan yang mendatangkan kemurkaan Allah I, sehingga kita tidak bisa lepas dari
hal-hal tersebut karena sudah menyatu dalam kehidupan nyata.
“Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya sendiri,
buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu, setan dengan cepat
memanfaatkan kesempatan, berusaha menggoda Nabi Ibrahim as, Siti Hajar, dan Ismail as agar mengabaikan perintah Allah I itu.
Lalu siapakah
“Ismail” kita?. Mungkin, yang mengetahuinya adalah kita sendiri. Maka korbankan
“Ismail”-mu!
“Katakanlah, jika
kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan
mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (Qs. Ali-Imran [3]: 31).
[fachreza].
subhanallah artikelnya mantep :) (p)
ReplyDelete