Monday, November 24, 2014

Majalah El-Huda Edisi 5

Majalah El-Huda Edisi 5

Majalah El-Huda Edisi 4

Majalah El-Huda Edisi 4

Majalah El-Huda Edisi 3

Majalah El-Huda Edisi 3

Majalah El-Huda Edisi 2

Majalah El-Huda Edisi 2

Majalah El-Huda Edisi 1

El-Huda Edisi 1
Ini adalah Majalah El-Huda edisi 1
Pada masa itu Majalah El-Huda ini belum menjadi majalah, dalam artian masih berbentuk buletin jadi belum menjadi Majalah.

Monday, May 26, 2014

Ketika Perbuatan Zalim dimintai Pertanggungjawaban

     

     Barangsiapa yang memilki dosa kezaliman pada saudaranya, baik berkenaan dengan kehormatan dirinya atau sesuatu yang lain, maka hendaknya ia berusaha melepaskannya hari ini, sebelum datangnya hari dimana tidak ada lagi uang dinar dan uang dirham (yaitu hari kiamat). (Jika pada hari kiamat nanti kezaliman belum terlepas,) maka apabila ia memiliki amal shaleh, amal shalehnya akan diambil (diberikan kepada saudaranya) sesuai dengan kezaliman yang dilakukannya, dan apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil dan dipikulkan kepadanya. 

[HR. Bukhari]

Hukum memakai kutek (cat kuku)

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Hukum memakai kutek (cat kuku) dan bagaimana hukum shalatnya orang yang memakai kutek?


     Pada asalnya segala sesuatu itu hukumnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya. Pewarna kuku (kutek) adalah bagian dari perhiasan wanita, dengan ini para wanita berhias dan berharap untuk bisa tampil lebih cantik dan menarik. Nah, kutek merupakan sesuatu yang pada asalnya boleh digunakan, akan tetapi ia bisa menjadi bermasalah apabila kecantikan dan dandanannya itu digunakan untuk menjerat laki-laki lain yang bukan mahramnya sehingga menimbulkan zina mata dan terbangkitnya nafsu syahwatnya, maka bagi wanita itu ada dosa dan ancaman siksa di neraka. sedangkan apabila kecantikan dan dandanannya itu disalurkan sesuai dengan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT, maka semua itu justru akan menjadi ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Misalnya bila seorang wanita berusaha tampil cantik dan menarik di depan suaminya dengan aneka make-up termasuk salah satunya memakai pewarna kuku, sehingga dengan itu suaminya menjadi tertarik dan senang kepadanya, maka bagi wanita itu ada pahala dan ganjaran dari Allah SWT. Jadi hukum memakai pewarna kuku itu bisa menjadi ibadah bisa juga menjadi dosa, tergantung niat atau tujuan pemakaiannya.

     Sedangkan dari sisi thaharah (bersuci) seperti wudhu, umumnya pewarna kuku (kutek) merupakan zat pewarna yang membentuk lapisan kedap air. Sehingga air tidak bisa membasahi kuku-kukunya yang merupakan bagian yang wajib terkena air ketika berwudhu. Dengan demikian apabila seseorang berwudhu dalam keadaan memakai kutek, maka wudhunya itu tidak sah.


     Selain kutek, ada pewarna kuku yang lebih alami, yaitu hinna'. Kita sering menyebutnya dengan istilah 'pacar kuku'. Berbeda dengan kutek, hinna' tidak membentuk lapisan di atas permukaan kuku. Sebaliknya, justru masuk ke dalam pori-pori kuku, tapi tidak menghalangi masuknya air wudhu. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Friday, May 23, 2014

Ma’rifatullah usaha awal mencintai Allah



Mengenal Allah (ma’rifatullah) adalah landasanberdirinya Islam secara keseluruhan. Ma’rifatullah adalah asas berdirinya tauhid seseorang sebab manusia tidak akan menjadi pribadi yang bertauhid kecuali ia mengetahui dengan benar siapa Rabbnya. Dan Tanpa ma’rifat ini, seluruh amal ibadah dalam Islam menjadi tidak memiliki nilai. Oleh karena itu, ma’rifatullah menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul. Bahkan hal inilah yang menjadi prioritas utama dalam dakwah mereka.

Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan, mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?

Memang banyak orang berpikiran demikian, namun sayang pengetahuan mereka tentang Rabbnya tidak mengantarkan mereka kepada pribadi yang cinta dan ta’at atas segala perintah Allah. Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya. Lantas apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya.

Urgensi Ma’rifatullah

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab menjadikan tema ma’rifatullah sebagai ushul (pokok) yang pertama yang harus diketahui oleh seorang mukmin dalam bertauhid. Secara khusus beliau menulis sebuah buku yang berjudul ushulul tsalasah yaitu tiga pokok dasar yang wajib diketahui orang islam. Tiga pokok tersebut adalah pertama, mengenal Allah (ma’rifatullah), kedua,  mengenal islam (ma’rifatuddin) dan ketiga, mengenal nabi muhammad saw.

Terdapat berbagai tempat dalam al-Qur’an, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai sifat yang Dia miliki. Sebuah bukti yang jelas bahwa Allah menghendaki agar para hamba mengenal diri-Nya. Bukti yang kongkrit bahwa ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah suatu hal yang dituntut dari diri seorang hamba. Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kita mengatakan bahwa pribadi termulia adalah seorang yang paling mengenal Allah ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Saya adalah pribadi yang paling bertakwa dan paling mengenal Allah dari kalian.”(HR. Bukhari)

Begitu pula, senada dengan makna hadits di atas, adalah apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Pribadi termulia yang memiliki cita-cita dan kedudukan tertinggi adalah seorang yang merasakan kelezatan dalam ma’rifatullah (mengenal Allah), mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya serta mencintai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.” (Al Fawaa-id, hal. 150).

Dengan ma’rifah lahirlah cinta

Kemudian Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak kita adalah, “Siapakah orang yang mengenal Allah (ahli ma’rifah) tersebut?” atau “Bagaimanakah potret seorang yang dapat dikategorikan sebagai ahli ma’rifah?

Syaikh  Muhammad bin Abi Bakr yang terkenal dengan Ibnul Qayyim, Beliau mengatakan, “Al ‘arif (orang yang mengenal Allah dengan benar) menurut para ulama adalah orang yang mengenal Allah ta’ala dengan berbagai nama, sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian dibuktikan dalam perikehidupannya yang dibarengi niat dan tujuan yang ikhlas…”(Madaarijus Saalikin, 3/337).

            Dr. Muhammad Khalifah At Tamimi mengatakan, “Pengetahuan (pengenalan) hamba terhadap berbagai nama dan sifat-Nya berdasarkan wahyu yang disampaikan Allah di dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya akan mampu membuat seorang hamba merealisasikan penghambaan (ubudiyah) kepada Allah secara sempurna. Setiap kali keimanan terhadap sifat-Nya bertambah sempurna, maka kecintaan dan keihklasan (kepada-Nya) akan semakin menguat. Manusia yang paling sempurna dalam penghambaannya kepada Allah adalah orang yang beribadah dengan (merealisasikan seluruh kandungan) nama dan sifat-Nya.”(Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fii Tauhidil Asma wash Shifaat, hal.24).

Oleh karena itu, mempelajari dan memahami berbagai nama dan sifat Allah merupakan hal yang sangat urgen karena memiliki kaitan yang erat dengan kewajiban untuk mengenal Allah (ma’rifatullah).

ImamHasanAl-Bashri rahimahullahberkata, “Barangsiapa yang mengenalRabb-nya, niscayadiaakanmencintai-Nya.”


Ibnu Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berbagai sifat Allah yang sempurna dan digunakan untuk berdo’a kepada-Nya serta hakikat berbagai nama-Nya adalah faktor pendorong hati (seorang) untuk mencintai Allah dan sampai kepada-Nya. Hal ini dikarenakan hati hanya akan mencintai orang yang dikenalnya, takut, berharap, rindu, merasa senang dan tenteram ketika menyebut namanya sesuai dengan (kadar) ma’rifah (pengenalan) hati terhadap sifatnya.” (Madaarijus Saalikin, 3/351). wallahua’alam

[fachruddin]

Wednesday, March 5, 2014

Hukum Bunga Kredit Kepemilikan Rumah

Ilustrasi: Hukum Bunga Kredit Kepemilikan Rumah
Bismillahirrahmanirrahim,,    

   Seseorang yang tidak mampu membeli rumah secara tunai, biasanya akan membelinya secara kredit lewat Bank, karena Bank biasanya memiliki produk kredit yang bisa dimanfaatkan untuk membeli rumah. Nama produk ini adalah KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Gambarannya adalah jika harga rumah tersebut  adalah Rp 140 juta, maka orang tersebut harus harus membayar dulu berapa persennya, umpamanya  membayar dulu 60 juta cash. Pembayaran ini oleh pihak Bank Konvensional dianggap sebagai uang muka (Down Payment = DP). Kekurangannya sebesar 80 juta terpaksa dia meminjam ke bank. Bank Konvensional langsung membayarnya ke developer rumah. Hutang tersebut harus dia bayar ke pihak Bank secara berangsur. Cara menghitung cicilan adalah dengan cara melihat berapa besar hutangnya, lalu setiap bulan ditambah dengan bunga sekian persen. Bulan depannya begitu juga seterusnya, setiap ada sisa hutang langsung ditambah bunga sekian persen. Dan begitu seterusnya sampai lunas. Umpamanya dia harus membayar 80 juta itu selama 15 tahun, setelah dihitung-hitung, maka setiap bulannya dia harus membayar 1 juta.  Sehingga kalau dikalkulasikan berarti dia harus membayar ke bank sebanyak 180 juta. Itupun bisa berubah-rubah tergantung pada naik-turunnya suku bunga. 

Pertanyaannya adalah, bagaimanakah hukum transaksi tersebut dalam syariat Islam? Makalah singkat ini mudah-mudahan dapat memberi jawabannya.

Hukum bunga kredit kepemilikan rumah (KPR)    Transaksi seperti ini termasuk bagian dari riba yang diharamkan oleh Islam.  Karena dia meminjam uang ke bank sebanyak 80 juta dan harus mengembalikannya sebanyak 180 juta, atau bahkan lebih. Dalam konsep Islam orang yang meminjam 80 juta, maka yang dikembalikan juga harus 80 juta. Inilah yang dimaksud dengan istilah Qardhun Hasan (Pinjaman Yang Baik) karena memang pinjaman itu pada dasarnya adalah untuk membantu, bukan untuk mencekik. 

    Berbeda dengan yang dilakukan Bank sebagaimana dalam kasus KPR, secara lahir, kelihatannya Bank sebagai pihak yang membantu, tetapi pada hakekatnya bank hanya ingin mencari untung. Kalau begitu bagaimana solusinya yang halal, jika kita memang butuh kepada rumah tersebut sedang uang muka tidak mencukupi ?

Solusi syar`I    Ada beberapa solusi : diantaranya adalah kita meminjam uang untuk membayar kekurangan tersebut kepada pihak tertentu yang mau meminjamkan uang tanpa bunga. Jika tidak mendapatkannya, maka kita bisa pergi ke Bank Syari’ah. Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah (Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’). Mekanismenya adalah kita memesan pada Bank Syari’ah agar membelikan rumah yang kita inginkan dari developer. Kemudian pihak Bank Syari’ah membeli rumah tersebut dari developer, lalu Bank Syari’ah tadi menjual lagi rumah tersebut kepada kita dengan cara mencicil. Biasanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga beli dari developer.

    Tetapi setelah dihitung-hitung ternyata harganya hampir sama atau bahkan lebih tinggi dari pada harga jika kita berhutang lewat Bank Konvensional dengan program bunga KPR. Kalau begitu apa bedanya membeli lewat bunga KPR dengan membeli lewat Bank Syari’ah, jika akhirnya harga yang harus dibayar sama ?Perbedaan antara bunga KPR lewat bank konvensional dan bank syari`ah       Kalau kita mau meneliti dengan seksama, antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang menyolok, diantaranya :

   Pertama : Dalam bunga KPR, pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya. Sedang cara yang kedua, status Bank Syari’ah adalah sebagai pedagang, karena Bank membeli langsung dari pihak developer secara penuh. Setelah rumah tersebut dibeli oleh Bank Syari’ah, secara otomatis rumah tersebut menjadi milik Bank secara penuh. Kemudian kita baru membelinya dari Bank secara berangsur. Seandainya terjadi apa-apa, seperti gempa atau banjir sehingga rumah tersebut tiba-tiba hancur sebelum diserahkan kepada kita, maka pihak Bank yang menanggung resikonya.  Berbeda dengan Bank Konvensional, yang tidak mau menanggung resiko apapun jika terjadi apa-apa, karena status rumah tersebut memang bukan miliknya.

   Kedua : Ketika membayar cicilan di dalam Bank Konvensional kita akan terkena riba. Sedang dalam Bank Syari’ah transaksi yang dilakukan tidak melibatkan bunga, tapi jual beli biasa. Keterangannya adalah bahwa harga rumah dalam Bank Syari’ah sudah jelas, umpamanya 240 juta dengan dicicil selama sepuluh tahun. Maka tiap bulan dia membayar 2 juta, tidak berubah sampai lunas. Sedang dalam Bank Konvensional pembayaran tiap bulan disesuaikan dengan suku bunga yang naik-turun tidak karuan. Jika suku bunga bank naik, maka kredit yang sudah berjalan pun ikut disesuaikan. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga baru yang lebih tinggi, akibatnya  cicilannya jadi lebih besar.
        Yang jelas, transaksi seperti ini termasuk bagian dari riba yang diharamkan oleh Islam. Lain halnya dengan sistem yang digunakan oleh Syariah Islam yang jauh lebih unggul dan lebih aman, serta tidak ada pihak yang dirugikan. Dan kepada siapa saja yang sudah terlanjur membeli rumah dengan sistem bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) di Bank Konvensional bisa memindahkan KPR tersebut ke Bank Syariah. Mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan-Nya yang lurus. Wallohu a`lam,, [Abdun Nafi’]

Thursday, January 9, 2014

Empat Macam Hati Manusia


Para shahabat Radhiallahu’anhum telah membagi hati-hati manusia menjadi empat macam. Sebagaimana hal ini shahih dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu’anhu secara mauquf.
“Hati-hati manusia ada empat macam:

Pertama: Qalbun Ajrad (Hati yang murni), padanya ada lentera yang bersinar, itulah hati seorang Mukmin.

Kedua: Qalbun Aghlaf (hati yang tertutup) itulah hatinya orang kafir.

Ketiga: Qalbun Mankus (hati yang terbalik) itulah hatinya orang munafik. Dia mengetahui kemudian setelah itu mengingkari, sebelumnya dia melihat kebenaran kemudian kembali buta.

Keempat: Qalbun Tamaduhu Maadatan (hati yang memiliki dua unsur) yaitu unsur keimanan dan kemunafikan, mana yang menang itulah yang mendominiasi atasnya.”

[Disalin dari kitab Ighatsatul Lahafan min Mashaidisy Syaithan, Karya Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah]


By: Fachreza

Cara Bergaul yang Baik


1.    Menghargai Orang Lain
Hargailah segala bentuk apapun dari orang lain, baik pendapat, sifat, keahlian, maupun kepribadiannya. Karena dengan kita menghargai orang lain maka, orang tersebut juga akan menghargai kita.

2.    Bercanda
Bercanda memang hal yang dibutuhkan dalam pergaulan untuk mengakrabkan diri satu sama lain. Dalam bercanda harus lihat situasi seseorang saat kita ingin bercanda. Jika orang tersebut sedang mengalami kesulitan, sepantasnya kita menghiburnya agar tersenyum dan tertawa.

3.    Menjadi Orang yang Dipercaya
Dipercaya oleh orang lain merupakan hal yang menyenangkan. Tapi kita juga harus ingat untuk tetap menjaga kepercayaan itu. Karena menjaga kepercayaan adalah hal yang sulit. Untuk itu berpikirlah apabila rahasia mereka adalah rahasia kita.

4.    Menjadi Seseorang yang Bisa Diandalkan
Untuk menjadi seseorang yang bisa diandalkan dalam pergaulan haruslah bisa menghargai orang lain, senang bercanda, dan menjadi orang yang dipercaya. Karena dengan kriteria tersebut secara langsung orang akan mengandalkan atau meminta pertolongan apabila dalam kesulitan. Dan hal tersebut dapat terlihat apabila kita bisa menjadi teman yang baik bagi orang lain atau teman kita sendiri.


3 kunci utama dalam bergaul dengan sesama muslim


1.    Ta’aruf (saling mengenal)

Ta’aruf atau saling mengenal merupakan kunci yang paling utama dalam bergaul. Dengan ta’aruf kita dapat mengenal sifat, kesukuan, kegemaran, karakter, dan semua ciri khas pada diri seseorang.

2.    Tafahum (memahami)

Tafahum atau saling mengenal merupakan kunci kedua yang harus diperhatikan. Karena dengan mengenal secara lebih dalam seseorang, maka kita akan mengetahui segal hal apa saj yang disukai atau yang tidak disukai. Dan hal tersebut dapat membantu kita untuk mengetahui bagaiman kita harus bersikap. Selain itu, dapat membantu kita untuk membedakan mana teman yang baik dan mana teman yang kurang baik.

3.    Ta’awun (saling menolong)

Ta’awun atau rasa saling menolong merupakan hal yang akan menumbuhkan rasa cinta antar sesama teman. Bahkan Islam sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa.


Sunday, January 5, 2014

Hukum Menjual dan Menyewakan Aset Wakaf

POLEMIK ASET WAKAF

Pendahuluan

Dewasa ini, permasalahan aset wakaf mulai marak diperbincangkan. Pasalnya, banyak masyarakat yang  bertanya perihal aset wakaf tersebut. Diantara pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat adalah tentang hukum menjualnya, dan menukarnya dengan benda yang lain atau menyewakannya untuk pengembangan wakaf itu sendiri.  Tulisan di bawah ini menjelaskan dua masalah di atas secara global.

Definisi wakaf

      Wakaf secara etimologi berarti menahan untuk berbuat. Sedangkan secara terminology, Mayoritas ulama mendefinisikan dengan menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue (penghasilan) barang tersebut dengan tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Alloh SWT.[1]

Hukum Menjual Aset Wakaf

          Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ 

فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ 

حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي 

الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ 

غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
  
“ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab radliallahu 'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut seraya  berkata: “ Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka Beliau berkata: “ Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah) nya.” Ibnu Umar radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar menshadaqahkannya ( hasilnya ), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan,  namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.”  (HR Bukhori)

           Berdasarkan hadist di atas,  para ulama berpendapat bahwa aset wakaf tidak boleh dijual atau ditarik kembali  oleh pemiliknya, bahkan sebagian kalangan menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama. Berkata Imam Qurthubi : “ Pendapat yang membolehkan penarikan kembali barang yang sudah diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi kesepakatan ulama, maka tidak boleh diikuti. “[2] 

Hanya saja dalam rinciannya ternyata para ulama berbeda pendapat :

     Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf : “ Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang membolehkan penjualan aset wakaf. “[3]

      Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’I[4] , dan riwayat dari Imam Ahmad.

Adapun dalil pendapat ini sebagai berikut :

Dalil Pertama
: Hadist Umar di atas yang menyebutkan : “ Wakaf tersebut tidak boleh dijual “ ,  kalimat ini bersifat umum, dan tidak ada pengecualian, sehingga tetap haram menjual benda wakaf dan ditukar dengan yang lain

Dalil Kedua : Jika dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan menimbulkan kerusakan dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf, dengan mudahnya menjual benda wakaf dan menukarnya dengan yang lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi, maka akan sulit mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya kerusakan tersebut.

Dalil ketiga : Hal ini seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika  Khalifah Harun Rasyid memintanya izin untuk membongkar Ka’bah dan dikembalikan kepada pondasi yang pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka Imam Malik melarangnya dan mengatakan : “ Jangan sampai Ka’bah engkau jadikan sebagai permainan para raja. “.  Padahal tujuan Khalifah Harun Rasyid adalah kebaikan.[5]

Tetapi dalam madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf jika terkena pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan dalam buku Hasyiat ad-Dasyuqi.[6]

      Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.[7]
            
Adapun dalilnya sebagai berikut :
Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid  yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid.[8] 
Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang menolaknya, hal  ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.

Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh Syariah Islam.

Berkata Ibnu Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak, dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai. “

Berkata Ibnu Uqail : “ Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa melanggengkannya secara khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka paling tidak kita menjaga maksud ( dari wakaf itu sendiri ), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan ( wakaf) itu sendiri  “[9]

Dalil Ketiga : Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang merubah nadzarnya kepada nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam hadist Jabir :

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه  أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي 

بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا

]رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ[

“ Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekkah: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah menaklukan kota Mekkah kepada baginda, aku akan sholat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang itu masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: "Kalau begitu, terserah engkau." (HR Ahmad dan Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim)

   Jika nadzar saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah dengan yang lebih baik.
Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat dipercaya. Wallahu A’lam

Menyewakan Benda Wakaf
   Adapun menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun  ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.
  Berkata Imam Nawawi : “ Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf ( nadhir ) dibolehkan untuk menyewakan wakaf “[10]
   Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat  tentang masa penyewaan benda wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :

Pendapat Pertama : Tidak boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama, seperti puluhan tahun lamanya[11] dan tidak boleh menyewakan barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah Mutakhirin.[12]

Alasannya dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama, keuntungannya sulit diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah tangan tanpa disadari oleh para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat bukti-buktinya
   
   Ibnu Hajar al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan yang hendak menyewakan benda wakaf selama limapuluh tahun dengan izin pemerintah, beliau menjawab : “ Tidak boleh pemerintah mengizinkannya ( untuk menyewakan benda wakaf ) dalam waktu yang panjang, karena susah menentukan harga sewa dalam jangka waktu tersebut. Begitu juga dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan rusak ( hilang ) jika disewakan dalam jangka waktu yang panjang. “[13]

Berkata Ibnu Nujaim al-Hanafi : “ Ketahuilah bahwa penyewaan wakaf tidak boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika seorang Nadhir menyewakan wakaf dengan harga di bawah harga standar, maka tidak sah penyewaannya, dan penyewa wajib membayar dengan harga standar. “[14]

   Sebagian pemerintah pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan penyewaan benda wakaf lebih dari tiga tahun dengan alasan yang disebutkan di atas.[15]

Pendapat Kedua : Boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama jika untuk kepentingan umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah terdahulu dan pendapat mayoritas ulama.  

   Berkata Ibnu Taimiyah : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka boleh untuk disewakan sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas waktunya menurut mayoritas ulama. “[16]

   Tapi kebolehan menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika diprediksi wakaf tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun hilang.  

   Berkata Bahuti  : “ Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau sejenisnya seperti tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun jangkanya panjang selama diprediksi barangnya masih utuh, maka sah penyewaannya. “[17]

Kesimpulan :

   Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri. Hendaknya pewakaf atau nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut. 

Wallahu A’lam. 


[1] Mughnil muhtaj : II/376, kasysyaaful qinaa` : IV/267, Ghayatul muntahaa : II/299
[2] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146
[3] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146
[4] Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab : 9/245
[5] Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, hlm : 4/ 54
[6] Dasuqi, Hasyiat ad- Dasuqi : 3/365
[7] Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, hlm : 4/ 54, Utsaimin, Syarh al Mumti’ : 4/470.
[8] Abdullah Bassam, Taudhuh al-Ahkam : 3/ 416
[9] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146
[10]Nawawi, Raudhotu at-Thalibin : 5/ 351, lihat juga Ibnu al Mardawai, al- Inshof : 6/ 28  
[11] Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa : 30/180
[12] Syekh Nidham, Fatawa Hindiyah : 2 / 422
[13] Ibnu Hajar al-Haitsami, Fatawa : 4/ 441
[14] Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Raiq : 7/ 99
[15] Zakariya Anshari, Asna al-Mathalib : 2/ 414
[16] Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa : 30/246
[17] Bahuti, ar-Raudh al-Murabi :  1/ 267