Monday, November 24, 2014
Majalah El-Huda Edisi 1
Monday, May 26, 2014
Ketika Perbuatan Zalim dimintai Pertanggungjawaban
Barangsiapa yang memilki dosa kezaliman pada saudaranya, baik berkenaan dengan kehormatan dirinya atau sesuatu yang lain, maka hendaknya ia berusaha melepaskannya hari ini, sebelum datangnya hari dimana tidak ada lagi uang dinar dan uang dirham (yaitu hari kiamat). (Jika pada hari kiamat nanti kezaliman belum terlepas,) maka apabila ia memiliki amal shaleh, amal shalehnya akan diambil (diberikan kepada saudaranya) sesuai dengan kezaliman yang dilakukannya, dan apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil dan dipikulkan kepadanya.
[HR. Bukhari]
Hukum memakai kutek (cat kuku)
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Hukum memakai kutek (cat kuku) dan bagaimana
hukum shalatnya orang yang memakai kutek?
Pada asalnya segala sesuatu itu hukumnya boleh
sampai ada dalil yang mengharamkannya. Pewarna kuku (kutek) adalah bagian dari
perhiasan wanita, dengan ini para wanita berhias dan berharap untuk bisa tampil
lebih cantik dan menarik. Nah, kutek merupakan sesuatu yang pada asalnya boleh
digunakan, akan tetapi ia bisa menjadi bermasalah apabila kecantikan dan
dandanannya itu digunakan untuk menjerat laki-laki lain yang bukan mahramnya
sehingga menimbulkan zina mata dan terbangkitnya nafsu syahwatnya, maka bagi
wanita itu ada dosa dan ancaman siksa di neraka. sedangkan apabila kecantikan
dan dandanannya itu disalurkan sesuai dengan apa yang dihalalkan oleh Allah
SWT, maka semua itu justru akan menjadi ibadah dan pendekatan diri kepada Allah
SWT. Misalnya bila seorang wanita berusaha tampil cantik dan menarik di depan
suaminya dengan aneka make-up termasuk salah satunya memakai pewarna kuku,
sehingga dengan itu suaminya menjadi tertarik dan senang kepadanya, maka bagi
wanita itu ada pahala dan ganjaran dari Allah SWT. Jadi hukum memakai pewarna
kuku itu bisa menjadi ibadah bisa juga menjadi dosa, tergantung niat atau
tujuan pemakaiannya.
Sedangkan dari sisi thaharah (bersuci) seperti
wudhu, umumnya pewarna kuku (kutek) merupakan zat pewarna yang membentuk
lapisan kedap air. Sehingga air tidak bisa membasahi kuku-kukunya yang
merupakan bagian yang wajib terkena air ketika berwudhu. Dengan demikian
apabila seseorang berwudhu dalam keadaan memakai kutek, maka wudhunya itu tidak
sah.
Selain kutek, ada pewarna kuku yang lebih
alami, yaitu hinna'. Kita sering menyebutnya dengan istilah 'pacar kuku'.
Berbeda dengan kutek, hinna' tidak membentuk lapisan di atas permukaan kuku.
Sebaliknya, justru masuk ke dalam pori-pori kuku, tapi tidak menghalangi
masuknya air wudhu.
Wallahu a'lam bishshawab.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Friday, May 23, 2014
Ma’rifatullah usaha awal mencintai Allah
Mengenal Allah (ma’rifatullah) adalah landasanberdirinya
Islam secara keseluruhan. Ma’rifatullah adalah asas berdirinya tauhid seseorang
sebab manusia tidak akan menjadi pribadi yang bertauhid kecuali ia mengetahui
dengan benar siapa Rabbnya. Dan Tanpa ma’rifat ini, seluruh amal ibadah dalam
Islam menjadi tidak memiliki nilai. Oleh karena itu, ma’rifatullah menjadi
intisari dakwah para nabi dan rasul. Bahkan hal inilah yang menjadi prioritas
utama dalam dakwah mereka.
Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah
bukan sesuatu yang asing. Bahkan, mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal
yang demikian dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal
pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Memang banyak orang berpikiran demikian, namun sayang
pengetahuan mereka tentang Rabbnya tidak mengantarkan mereka kepada pribadi
yang cinta dan ta’at atas segala perintah Allah. Faktanya, banyak yang mengaku
mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya. Lantas apa manfaat
kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal
Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya.
Urgensi Ma’rifatullah
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab menjadikan tema ma’rifatullah
sebagai ushul (pokok) yang pertama yang harus diketahui oleh seorang
mukmin dalam bertauhid. Secara khusus beliau menulis sebuah buku yang berjudul ushulul
tsalasah yaitu tiga pokok dasar yang wajib diketahui orang islam. Tiga
pokok tersebut adalah pertama, mengenal Allah (ma’rifatullah), kedua, mengenal islam (ma’rifatuddin) dan ketiga,
mengenal nabi muhammad saw.
Terdapat berbagai tempat dalam al-Qur’an, Allah
memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai sifat yang Dia miliki. Sebuah bukti
yang jelas bahwa Allah menghendaki agar para hamba mengenal diri-Nya. Bukti
yang kongkrit bahwa ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah suatu hal yang
dituntut dari diri seorang hamba. Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kita
mengatakan bahwa pribadi termulia adalah seorang yang paling mengenal Allah ta’ala.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Saya adalah pribadi yang paling bertakwa dan paling mengenal Allah dari
kalian.”(HR. Bukhari)
Begitu pula, senada dengan makna hadits di atas, adalah
apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Pribadi termulia yang memiliki
cita-cita dan kedudukan tertinggi adalah seorang yang merasakan kelezatan dalam
ma’rifatullah (mengenal Allah), mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya
serta mencintai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.” (Al Fawaa-id,
hal. 150).
Dengan ma’rifah lahirlah cinta
Kemudian Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak
kita adalah, “Siapakah orang yang mengenal Allah (ahli ma’rifah) tersebut?”
atau “Bagaimanakah potret seorang yang dapat dikategorikan sebagai ahli
ma’rifah?
Syaikh Muhammad
bin Abi Bakr yang terkenal dengan Ibnul Qayyim, Beliau mengatakan, “Al ‘arif
(orang yang mengenal Allah dengan benar) menurut para ulama’ adalah orang yang mengenal Allah ta’ala dengan berbagai nama, sifat dan
perbuatan-Nya. Kemudian dibuktikan dalam perikehidupannya yang dibarengi niat
dan tujuan yang ikhlas…”(Madaarijus Saalikin, 3/337).
Dr. Muhammad Khalifah At
Tamimi mengatakan, “Pengetahuan (pengenalan) hamba terhadap berbagai nama dan
sifat-Nya berdasarkan wahyu yang disampaikan Allah di dalam kitab-Nya dan
sunnah rasul-Nya akan mampu membuat seorang hamba merealisasikan penghambaan
(ubudiyah) kepada Allah secara sempurna. Setiap kali keimanan terhadap
sifat-Nya bertambah sempurna, maka kecintaan dan keihklasan (kepada-Nya) akan
semakin menguat. Manusia yang paling sempurna dalam penghambaannya kepada Allah
adalah orang yang beribadah dengan (merealisasikan seluruh kandungan) nama dan
sifat-Nya.”(Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fii Tauhidil Asma wash Shifaat,
hal.24).
Oleh karena itu, mempelajari dan memahami berbagai nama
dan sifat Allah merupakan hal yang sangat urgen karena memiliki kaitan yang
erat dengan kewajiban untuk mengenal Allah (ma’rifatullah).
ImamHasanAl-Bashri rahimahullahberkata,
“Barangsiapa yang mengenalRabb-nya, niscayadiaakanmencintai-Nya.”
Ibnu Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berbagai sifat Allah
yang sempurna dan digunakan untuk berdo’a kepada-Nya serta hakikat berbagai
nama-Nya adalah faktor pendorong hati (seorang) untuk mencintai Allah dan
sampai kepada-Nya. Hal ini dikarenakan hati hanya akan mencintai orang yang
dikenalnya, takut, berharap, rindu, merasa senang dan tenteram ketika menyebut
namanya sesuai dengan (kadar) ma’rifah (pengenalan) hati terhadap sifatnya.” (Madaarijus
Saalikin, 3/351). wallahua’alam
[fachruddin]
Wednesday, March 5, 2014
Hukum Bunga Kredit Kepemilikan Rumah
Ilustrasi: Hukum Bunga Kredit Kepemilikan Rumah |
Seseorang yang tidak mampu membeli rumah secara tunai, biasanya akan membelinya secara kredit lewat Bank, karena Bank biasanya memiliki produk kredit yang bisa dimanfaatkan untuk membeli rumah. Nama produk ini adalah KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Gambarannya adalah jika harga rumah tersebut adalah Rp 140 juta, maka orang tersebut harus harus membayar dulu berapa persennya, umpamanya membayar dulu 60 juta cash. Pembayaran ini oleh pihak Bank Konvensional dianggap sebagai uang muka (Down Payment = DP). Kekurangannya sebesar 80 juta terpaksa dia meminjam ke bank. Bank Konvensional langsung membayarnya ke developer rumah. Hutang tersebut harus dia bayar ke pihak Bank secara berangsur. Cara menghitung cicilan adalah dengan cara melihat berapa besar hutangnya, lalu setiap bulan ditambah dengan bunga sekian persen. Bulan depannya begitu juga seterusnya, setiap ada sisa hutang langsung ditambah bunga sekian persen. Dan begitu seterusnya sampai lunas. Umpamanya dia harus membayar 80 juta itu selama 15 tahun, setelah dihitung-hitung, maka setiap bulannya dia harus membayar 1 juta. Sehingga kalau dikalkulasikan berarti dia harus membayar ke bank sebanyak 180 juta. Itupun bisa berubah-rubah tergantung pada naik-turunnya suku bunga.
Pertanyaannya adalah, bagaimanakah hukum transaksi tersebut dalam syariat Islam? Makalah singkat ini mudah-mudahan dapat memberi jawabannya.
Hukum bunga kredit kepemilikan rumah (KPR) Transaksi seperti ini termasuk bagian dari riba yang diharamkan oleh Islam. Karena dia meminjam uang ke bank sebanyak 80 juta dan harus mengembalikannya sebanyak 180 juta, atau bahkan lebih. Dalam konsep Islam orang yang meminjam 80 juta, maka yang dikembalikan juga harus 80 juta. Inilah yang dimaksud dengan istilah Qardhun Hasan (Pinjaman Yang Baik) karena memang pinjaman itu pada dasarnya adalah untuk membantu, bukan untuk mencekik.
Berbeda dengan yang dilakukan Bank sebagaimana dalam kasus KPR, secara lahir, kelihatannya Bank sebagai pihak yang membantu, tetapi pada hakekatnya bank hanya ingin mencari untung. Kalau begitu bagaimana solusinya yang halal, jika kita memang butuh kepada rumah tersebut sedang uang muka tidak mencukupi ?
Solusi syar`I Ada beberapa solusi : diantaranya adalah kita meminjam uang untuk membayar kekurangan tersebut kepada pihak tertentu yang mau meminjamkan uang tanpa bunga. Jika tidak mendapatkannya, maka kita bisa pergi ke Bank Syari’ah. Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah (Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’). Mekanismenya adalah kita memesan pada Bank Syari’ah agar membelikan rumah yang kita inginkan dari developer. Kemudian pihak Bank Syari’ah membeli rumah tersebut dari developer, lalu Bank Syari’ah tadi menjual lagi rumah tersebut kepada kita dengan cara mencicil. Biasanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga beli dari developer.
Tetapi setelah dihitung-hitung ternyata harganya hampir sama atau bahkan lebih tinggi dari pada harga jika kita berhutang lewat Bank Konvensional dengan program bunga KPR. Kalau begitu apa bedanya membeli lewat bunga KPR dengan membeli lewat Bank Syari’ah, jika akhirnya harga yang harus dibayar sama ?Perbedaan antara bunga KPR lewat bank konvensional dan bank syari`ah Kalau kita mau meneliti dengan seksama, antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang menyolok, diantaranya :
Pertama : Dalam bunga KPR, pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya. Sedang cara yang kedua, status Bank Syari’ah adalah sebagai pedagang, karena Bank membeli langsung dari pihak developer secara penuh. Setelah rumah tersebut dibeli oleh Bank Syari’ah, secara otomatis rumah tersebut menjadi milik Bank secara penuh. Kemudian kita baru membelinya dari Bank secara berangsur. Seandainya terjadi apa-apa, seperti gempa atau banjir sehingga rumah tersebut tiba-tiba hancur sebelum diserahkan kepada kita, maka pihak Bank yang menanggung resikonya. Berbeda dengan Bank Konvensional, yang tidak mau menanggung resiko apapun jika terjadi apa-apa, karena status rumah tersebut memang bukan miliknya.
Kedua : Ketika membayar cicilan di dalam Bank Konvensional kita akan terkena riba. Sedang dalam Bank Syari’ah transaksi yang dilakukan tidak melibatkan bunga, tapi jual beli biasa. Keterangannya adalah bahwa harga rumah dalam Bank Syari’ah sudah jelas, umpamanya 240 juta dengan dicicil selama sepuluh tahun. Maka tiap bulan dia membayar 2 juta, tidak berubah sampai lunas. Sedang dalam Bank Konvensional pembayaran tiap bulan disesuaikan dengan suku bunga yang naik-turun tidak karuan. Jika suku bunga bank naik, maka kredit yang sudah berjalan pun ikut disesuaikan. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga baru yang lebih tinggi, akibatnya cicilannya jadi lebih besar.
Thursday, January 9, 2014
Empat Macam Hati Manusia
Para shahabat Radhiallahu’anhum telah membagi hati-hati
manusia menjadi empat macam. Sebagaimana hal ini shahih dari Hudzaifah Ibnul
Yaman Radhiallahu’anhu secara mauquf.
“Hati-hati manusia ada empat macam:
Pertama: Qalbun Ajrad (Hati yang murni), padanya ada lentera yang
bersinar, itulah hati seorang Mukmin.
Kedua: Qalbun Aghlaf (hati yang tertutup) itulah hatinya orang
kafir.
Ketiga: Qalbun Mankus (hati yang terbalik) itulah hatinya orang
munafik. Dia mengetahui kemudian setelah itu mengingkari, sebelumnya dia melihat
kebenaran kemudian kembali buta.
Keempat: Qalbun Tamaduhu Maadatan (hati yang memiliki dua unsur) yaitu unsur
keimanan dan kemunafikan, mana yang menang itulah yang mendominiasi atasnya.”
[Disalin
dari kitab Ighatsatul Lahafan min Mashaidisy Syaithan, Karya Al Imam Ibnu
Qayyim Al Jauziyah]
By: Fachreza
Cara Bergaul yang Baik
1.
Menghargai Orang Lain
Hargailah segala bentuk apapun dari
orang lain, baik pendapat, sifat, keahlian, maupun kepribadiannya. Karena
dengan kita menghargai orang lain maka, orang tersebut juga akan menghargai
kita.
2.
Bercanda
Bercanda memang hal yang dibutuhkan
dalam pergaulan untuk mengakrabkan diri satu sama lain. Dalam bercanda harus
lihat situasi seseorang saat kita ingin bercanda. Jika orang tersebut sedang
mengalami kesulitan, sepantasnya kita menghiburnya agar tersenyum dan tertawa.
3.
Menjadi Orang yang Dipercaya
Dipercaya oleh orang lain merupakan
hal yang menyenangkan. Tapi kita juga harus ingat untuk tetap menjaga
kepercayaan itu. Karena menjaga kepercayaan adalah hal yang sulit. Untuk itu
berpikirlah apabila rahasia mereka adalah rahasia kita.
4.
Menjadi Seseorang yang Bisa Diandalkan
Untuk menjadi seseorang yang bisa
diandalkan dalam pergaulan haruslah bisa menghargai orang lain, senang
bercanda, dan menjadi orang yang dipercaya. Karena dengan kriteria tersebut
secara langsung orang akan mengandalkan atau meminta pertolongan apabila dalam
kesulitan. Dan hal tersebut dapat terlihat apabila kita bisa menjadi teman yang
baik bagi orang lain atau teman kita sendiri.
3 kunci utama dalam bergaul dengan sesama muslim
1.
Ta’aruf (saling mengenal)
Ta’aruf atau saling mengenal
merupakan kunci yang paling utama dalam bergaul. Dengan ta’aruf kita dapat
mengenal sifat, kesukuan, kegemaran, karakter, dan semua ciri khas pada diri
seseorang.
2.
Tafahum (memahami)
Tafahum atau saling mengenal
merupakan kunci kedua yang harus diperhatikan. Karena dengan mengenal secara
lebih dalam seseorang, maka kita akan mengetahui segal hal apa saj yang disukai
atau yang tidak disukai. Dan hal tersebut dapat membantu kita untuk mengetahui
bagaiman kita harus bersikap. Selain itu, dapat membantu kita untuk membedakan
mana teman yang baik dan mana teman yang kurang baik.
3.
Ta’awun (saling menolong)
Ta’awun atau rasa saling menolong
merupakan hal yang akan menumbuhkan rasa cinta antar sesama teman. Bahkan Islam
sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk saling menolong dalam kebaikan dan
takwa.
Sunday, January 5, 2014
Hukum Menjual dan Menyewakan Aset Wakaf
POLEMIK ASET WAKAF
Pendahuluan
Dewasa ini,
permasalahan aset wakaf mulai marak diperbincangkan. Pasalnya, banyak
masyarakat yang bertanya perihal aset
wakaf tersebut. Diantara pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat adalah
tentang hukum menjualnya, dan
menukarnya dengan benda yang lain atau menyewakannya untuk pengembangan wakaf
itu sendiri. Tulisan di bawah ini menjelaskan dua masalah di atas secara
global.
Definisi
wakaf
Wakaf secara
etimologi berarti menahan untuk berbuat. Sedangkan secara terminology, Mayoritas
ulama mendefinisikan dengan menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara
barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap
barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang
diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue (penghasilan) barang
tersebut dengan tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada
Alloh SWT.[1]
Hukum Menjual Aset Wakaf
Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :
عَنْ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا
بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ
فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ
أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ
شِئْتَ
حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ
أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي
الْفُقَرَاءِ وَفِي
الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا
بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ
غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
“ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab radliallahu
'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu
'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut
seraya berkata: “ Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar
dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka
apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka Beliau berkata: “ Jika
kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan
(hasil buah) nya.” Ibnu Umar radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar
menshadaqahkannya ( hasilnya ), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak
dihibahkan dan juga tidak diwariskan, namun dia menshadaqahkannya
untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil
dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan
darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan
bermaksud menimbunnya.” (HR Bukhori)
Berdasarkan hadist di atas, para ulama berpendapat bahwa aset wakaf tidak
boleh dijual atau ditarik kembali oleh pemiliknya, bahkan sebagian
kalangan menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama. Berkata Imam
Qurthubi : “ Pendapat yang membolehkan penarikan kembali barang yang sudah
diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi kesepakatan ulama, maka tidak boleh
diikuti. “[2]
Hanya saja dalam rinciannya ternyata para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari
hal ini, berkata Abu Yusuf : “ Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu
Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang
membolehkan penjualan aset wakaf. “[3]
Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti
dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf tersebut
tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’I[4] , dan riwayat dari Imam Ahmad.
Adapun dalil
pendapat ini sebagai berikut :
Dalil Kedua : Jika
dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan menimbulkan kerusakan
dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf, dengan mudahnya menjual benda wakaf
dan menukarnya dengan yang lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi,
maka akan sulit mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya
kerusakan tersebut.
Dalil ketiga : Hal ini
seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika Khalifah Harun Rasyid
memintanya izin untuk membongkar Ka’bah dan dikembalikan kepada pondasi yang
pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka Imam Malik melarangnya dan mengatakan : “
Jangan sampai Ka’bah engkau jadikan sebagai permainan para raja. “.
Padahal tujuan Khalifah Harun Rasyid adalah kebaikan.[5]
Tetapi dalam
madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf jika terkena
pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan dalam buku
Hasyiat ad-Dasyuqi.[6]
Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf
tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar masjid
tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut .
Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.[7]
Adapun dalilnya sebagai berikut :
Dalil Pertama : Atsar
Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah
telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk
memindahkan masjid yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di
depan masjid.[8]
Peristiwa
ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang
menolaknya, hal ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.
Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan
maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan
menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan
mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh
Syariah Islam.
Berkata Ibnu
Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan
yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak, dibolehkan menggantikannya dengan
yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai. “
Berkata Ibnu
Uqail : “ Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa melanggengkannya secara
khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka paling tidak kita menjaga maksud
( dari wakaf itu sendiri ), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang
lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf
yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan (
wakaf) itu sendiri “[9]
Dalil Ketiga :
Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang merubah nadzarnya kepada
nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam hadist Jabir :
وَعَنْ
جَابِرٍ رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ
اَلْفَتْحِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ
أَنْ أُصَلِّيَ فِي
بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا
]رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ[
“ Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu
bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekkah: Wahai
Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah menaklukan kota Mekkah kepada
baginda, aku akan sholat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah
disini." Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda: "Sholatlah
disini." Orang itu masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: "Kalau
begitu, terserah engkau." (HR Ahmad dan Abu Daud, dan
dishahihkan oleh Hakim)
Jika nadzar
saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah
dengan yang lebih baik.
Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai
dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk
menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan
menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau
lembaga sosial yang dapat dipercaya. Wallahu A’lam
Menyewakan Benda Wakaf
Adapun
menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun
ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.
Berkata Imam
Nawawi : “ Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf ( nadhir )
dibolehkan untuk menyewakan wakaf “[10]
Tetapi
walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang masa penyewaan benda
wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :
Pendapat Pertama : Tidak
boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama, seperti puluhan
tahun lamanya[11] dan
tidak boleh menyewakan barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah
pendapat Ulama Hanafiyah Mutakhirin.[12]
Alasannya
dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama, keuntungannya sulit
diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah tangan tanpa disadari oleh
para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat bukti-buktinya
Ibnu Hajar
al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan yang hendak
menyewakan benda wakaf selama limapuluh tahun dengan izin pemerintah, beliau
menjawab : “ Tidak boleh pemerintah mengizinkannya ( untuk menyewakan benda
wakaf ) dalam waktu yang panjang, karena susah menentukan harga sewa dalam
jangka waktu tersebut. Begitu juga dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan
rusak ( hilang ) jika disewakan dalam jangka waktu yang panjang. “[13]
Berkata Ibnu Nujaim al-Hanafi : “ Ketahuilah bahwa
penyewaan wakaf tidak boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika
seorang Nadhir menyewakan wakaf dengan harga di
bawah harga standar, maka tidak sah penyewaannya, dan penyewa wajib membayar
dengan harga standar. “[14]
Sebagian pemerintah
pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan penyewaan benda wakaf lebih
dari tiga tahun dengan alasan yang disebutkan di atas.[15]
Pendapat Kedua : Boleh
menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama jika untuk kepentingan
umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah terdahulu dan pendapat mayoritas
ulama.
Berkata Ibnu
Taimiyah : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka boleh untuk disewakan
sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas waktunya menurut mayoritas
ulama. “[16]
Tapi kebolehan
menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika diprediksi wakaf
tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun hilang.
Berkata
Bahuti : “ Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau sejenisnya seperti
tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun jangkanya panjang selama
diprediksi barangnya masih utuh, maka sah penyewaannya. “[17]
Kesimpulan :
Dari
penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan
menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih
besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan
wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri. Hendaknya pewakaf atau
nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan
menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa
diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut.
Wallahu
A’lam.
[1] Mughnil muhtaj : II/376, kasysyaaful qinaa` :
IV/267, Ghayatul muntahaa : II/299
[2] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam
: 2/ 146
[3] Abdullah
Bassam, Taisir al-Allam : 2/ 146
[4] Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab :
9/245
[5] Utsaimin,
Syarh Bulughul Maram, hlm : 4/ 54
[6] Dasuqi, Hasyiat
ad- Dasuqi : 3/365
[7] Utsaimin, Syarh
Bulughul Maram, hlm : 4/ 54, Utsaimin, Syarh al Mumti’ : 4/470.
[8] Abdullah Bassam, Taudhuh al-Ahkam
: 3/ 416
[9] Abdullah Bassam, Taisir al-Allam
: 2/ 146
[10]Nawawi, Raudhotu
at-Thalibin : 5/ 351, lihat juga Ibnu al Mardawai, al- Inshof : 6/
28
[11] Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa : 30/180
[12] Syekh Nidham, Fatawa Hindiyah
: 2 / 422
[13] Ibnu Hajar al-Haitsami, Fatawa
: 4/ 441
[14] Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Raiq
: 7/ 99
[15] Zakariya
Anshari, Asna al-Mathalib : 2/ 414
[16] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa
: 30/246
[17] Bahuti, ar-Raudh al-Murabi
: 1/ 267